Strategydesk – Perancis telah memilih tokoh sentris independen Emmanuel Macron sebagai presiden selanjutnya, mengakhiri gejolak politik yang mengancam masa depan euro.
Macron diperkirakan meraih suara 65% dalam pemilu kemarin, mengalahkan kandidat populis Marine Le Pen, yang berkampanye mengeluarkan Perancis dari zona euro dan bahkan Uni Eropa. Macron kini harus membuktikan ia bisa mengatasi kelesuan ekonomi Perancis dengan mendorong pertumbuhan dan lapangan kerja dan ia membutuhkan dukungan mayoritas di parlemen. Perancis akan menggelar pemilu legislatif bulan depan.
Akhir-akhir ini, eksistensi euro terancam dari munculnya populisme di Eropa. Partai nasionalis dan populis, yang menggunakan momentum Brexit, semakin lantang menyuarakan perlawanan atas euro dan Uni Eropa. Tokoh-tokoh partai tersebut bermunculan di Perancis, Belanda, Italia dan Yunani. Mereka pada dasarnya menentang integrasi ekonomi dan moneter dan menampung ketidakpuasan terhadap establishment. Selain itu, mereka juga tidak suka dengan imigran.
Macron adalah outsider yang membentuk gerakan sendiri, En Marche. Mantan bankir itu sempat menjabat sebagai menteri ekonomi tapi belum pernah terjun ke politik. Establishment sebenarnya dikritik di Perancis. Kandidat yang mewakili partai yang mendominasi sistem politik Perancis tidak ada yang lolos putaran kedua pilpres.
Kemenangan Macron dianggap sebagai terbebasnya euro dari ancaman. Dengan kalahnya Le Pen, setelah tersingkirnya tokoh kontroversial Belanda Gert Wilders dalam pemilu beberapa bulan lalu, kubu populis semakin tenggelam. Bila ia mampu meloloskan agenda reformasinya, ia akan dalam posisi lebih kuat untuk bekerja dengan Jerman dan negara euro lainnya untuk mendorong pemulihan di kawasan.